Daku...

Aku akan tempuh hari hariku bersama cinta yang utama, Aku ingin mati di jalan ini bersama kemuliaanyang tak terkira,Aku tidak akan menyerah selamanya tidak akan menyerah di jalan-Nya.

Jumat, 23 November 2012

ILMU DAKWAH












BAHAN KULIAH


ILMU DAKWAH









TINJAUAN TENTANG DAKWAH

A.    Pendahuluan
Islam adalah agama dakwah, karena memang Islam mengandung kebenaran yang mendorong pemeluknya untuk menyebarkannya. Dalam perkembangannya sejak dari Mekkah sampai keseluruh dunia, Islam selalu diwarnai dengan usaha-usaha dakwah yang dimulai dari Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah dandilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in sampai kepada para da’i ke seluruh penjuru dunia, sehingga Islam sampai di Indonesia.
Apabila kita menyimak kegiatan dakwah pada masa kini akan terlihat bahwa dakwah Islam mengalami hambatan yang cukup mendasar. Sebab masyarakat sebagai sasaran dakwah dari waktu ke waktu terus berkembang, tidak statis sebagaiakibat dari pengaruh perkembangan Ilmu dan teknologi, sehingga masyarakat sebagai sasaran dakwah semakin komplek. Sedang dakwah masih menggunakan cara-cara konvensional, tema dakwah  yang lama mulai kehilangan relevansinya dan model dakwah yang ada tidak lagi dapat melihat dan memecahkan masalah ummat yang semakin rumit (Ahmad, ed., 1985: 3). Dakwah Islam pada masa sekarang kebanyakan masih bersifat verbal dan parsial dan tidak mengena pada konteks permasalahatan ummat, sehingga dakwah Islam terlihat ketinggalan (dibanding misi lain) seperti ditunjukkan oleh penurunan relatif dari pemeluknya, hal mana antaralain disebabkan oleh kurangnya pengkajian dan penerapan metode yang memadai (Ahmad, 1985: 47).
Salah satu penyebab dari problem dakwah tersebut adalah sebagai akibat dari pola pengertian dakwah yang selama ini hidup dalam pemikiran dakwah. Pertama dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan agama, kedua dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia (Amrullah Achmad, ed., 1985: 6)
Kelemahan pada pengertian dakwah yang pertama adalah terlalu sempit sehingga tidak mampu menghubungkan antara simbol dengan realitas, aktivitas dakwah menjadi sempit, hanya dari mimbar ke mimbar dan tidak bisa menjawab permsalahan ummat secara kongkrit. Untuk menjawab permasalahan ummat atau masyarakat sebagai sasaran dakwah sebagai misal tentang kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan dengan tabligh dari mimbar ke mimbar, tetapi perlu ada usaha atau tindakan untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Usaha itu bisa berupa bantuan sosial, pendidikan ketrampilan dan sebagainya. Yang mana hal tersebut telah dilakukan oleh agama lain yang dalam cara berdakwah lebih persuasif dan mendekati kebutuhan nyata dari masyarakat dalam arti sosial psikologis atau pun sosial ekonomi bagi mereka yang miskin.
Apabila pengertian yang salah (sempit) tentang dakwah tersebut tetap dipertahankan, maka nasib agama Islam di Indonesia akan mundur (Effendy Zarkasi, 1977: 14).
Sedang dakwah dalam pengertian yang kedua menghendaki adanya lembaga sebagai penopangnya karena usaha dakwah meliputi semua segi kehidupan manusia. Sehinga tidak bisa dilakukan oleh perorangan tetapi merupakan kerja kolektif. Dalam pengertian yang kedua ini, tabligh termasuk bagian dari aktivitas dakwah.
Sejalan dengan itu Mukti Ali (1971; 5-6) memberikan kritiknya yang tertuang dalam bukunya Faktor-Faktor Penyiaran Islam. Beliau mengatakan dalam berdakwah orang sering­kali bertolak dari dalil-dalil Al Qur'an dan Hadist juga dari pendapat para ulama dan pemimpin-pemimpin terkemuka. Dari dalil-dalil itu lalu orang menguraikan tentang bagaimana seharusnya dakwah itu dilakukan. Cara pendekatan yang seperti itu dina­makan cara deduktif. Cara yang sedemikian itu memang baik kedengarannya, karena yang diuraikan adalah yang baik-baik saja, karena ajaran Islam dengan segala seluk-beluknya adalah baik. Dakwah dengan segala seluk-beluknyadiberi bentuk yang idealistik.
Pendekatan seperti tersebut diatas itu mungkin didasarkan kepada pengertian bahwa masalah dakwah adalah masalah agama melulu dengan arti yang sempit.
Pendekatan yang sedemikian itu adalah baik sekalidari segi teori, tetapi belum tentu teori yang baik itu dapat diterapkan di masyarakat. Teori dakwah yang baik diterapkan disesuatu ke­lompok masyarakat belum tentu baik diterapkan dalam kelompok masyarakat yang lain. Keadaan obyektif dari sesuatu masyarakat tidak bisa dipaksakan untuk disesuaikan dengan sesuatu teori yang kita anggap baik.
Selanjutnya A. Mukti Ali (1971) mengatakan pendekatan yang sedemikian itu adalah kurang tepat. Hal ini disebabkan karena soaldakwahadalah bukan soal agama saja, tetapi juga soal masyarakat. Soal masyarakat ini­lah yang seringkali dilupakan orang untuk dibahas, ditinjau dan dianalisa. Oleh karena itu barangkali saja cara pendekatan yang baik tentang masalah dakwah adalah dengan jalan mempelajari masyarakat secara obyektif, lalu kita melihat kekurangan-kekurangan yang selama ini kita lakukan dalam melaksanakan dakwah. Keadaan obyektif dari masyarakat kita pelajari lalu kita pulangkan pada dalil-dalil Al Qur'an atau Hadist, juga pendapat para ulama dan orang terkemuka. Cara ini adalah pendekatan secara induktif.­Seringkali uraian dengan cara yang belakanganinikurangpo­puler, karena seringkali juga menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang selama ini dilakukan oleh para muballigh dan para da’i. Menurut A Mukti Ali (1971) menunjukkan kesalahan dan kekurangan para muballigh dan para da’i itu adalah merupakan suatu keharusan. Sebab bagaimana orang bisa dengan tepat menunjukkan cara yang baik yang harus dilakukan, kalau kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya tidak terlebih dahulu diuraikan.

B.Pengertian Dakwah
   1. Menurut Bahasa
Dakwah berasal dari bahasa arab yaitu : da’aa, yad’uu, dakwatan, yang artinya mengajak, memanggil, menyeru (Mahmud Yunus, 1970: 127). Di dalam Al-Qur’an kata dakwah itu dipergunakan untuk  menyeru kepada yang baik maupun yang buruk, yaitu dalam surat Al-Mu’min ayat 41 :
* ÏQöqs)»tƒur $tB þÍ< öNà2qãã÷Šr& n<Î) Ío4qyf¨Z9$# û_Í_tRqããôs?ur n<Î) Í$¨Z9$# ÇÍÊÈ  

41. Hai kaumku, Bagaimanakah kamu, aku menyeru kamu kepada keselamatan, tetapi kamu menyeru aku ke neraka?
Dari pengertian di atas, secara umum kata dakwah dapat diartikan sebagai ajakan atau panggilan kepada orang agar mengikuti atau menganut suatu pendapat atau ajaran tertentu.
2.      Menurut Istilah
Terdapat banyak pendapat mengenai arti istilah dakwah. Ada yang mengartikan dan menyamakan dakwah dengan pidato atau tabligh dan pendapat ini umum berlaku di kalangan para juru dakwah.
Menurut Prof. Thaha Yahya Umar (1967: 1), bahwa yang dimaksud dengan dakwah ialah :Mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang sesuai dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akherat.
Sedangkan menurut HSM. Nasaruddin Latif, bahwa dakwah adalah setiap usaha atau aktifitas dengan lisan, tulisan atau lukisan dan lainnya, yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak Islamiyah.(t.th. : 10).
Sedangkan menurut H. Soedirman (1972: 47) yang dimaksud dengan dakwah ialah semua usaha  mewujudkan  ajaran Islam dalam semua segi kehidupan.
Al-Ustadz Bahiyul Khuly (dalam Salahuddin Sanusi, 1964: 9-10), mendefinisikan dakwah yaitu :Memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain atau dari situasi kekufuran ke situasi keamanan dari situasi terjajah ke situasi kemerdekaan, dari situasi kemelaratan ke situasi kemakmuran, dari situasi mundur ke kemajuan dari pecah belah ke persatuan..., merubah seseorang yang jahat menjadi saleh, yang maksiat menjadi taat, yang bodoh menjadi berpengetahuan dan yang miskin menjadi berkecukupan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka secara garis besar ada dua pola pengertian yang selama ini hidup dalam pemikiran dakwah.
1)      Dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan agama.
2)      Bahwa dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia. (Amrullah Achmad, ed., 1985: 6).
Kelemahan pada pengertian dakwah yang pertama adalah terlalu sempit sehingga tidak mampu menghubungkan antara simbol dengan realitas, aktivitas dakwah menjadi sempit, hanya dari mimbar ke mimbar dan tidak bisa menjawab permasalahan ummat secara kongkrit. Untuk menjawab permasalahan ummat atau masyarakat sebagai sasaran dakwah sebagai misal tentang kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan dengan tabligh dari mimbar ke mimbar, tetapi perlu ada usaha atau tindakan untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Usaha itu bisa berupa bantuan sosial, pendidikan keterampilan dan sebagainya. Yang mana hal tersebut telah dilakukan oleh agama lain yang dalam cara berdakwah lebih persuasif dan mendekati kebutuhan nyata dari masyarakat dalam arti sosial psikologis ataupun sosial ekonomi bagi mereka yang miskin.
Apabila pengertian yang salah (sempit) tentang dakwah tersebut tetap dipertahankan, maka nasib agama Islam di Indonesia akan mundur (Effendy Zarkasi, 1977: 14).
Sedang dakwah dalam pengertian yang kedua menghendaki adanya lembaga sebagai penopangnya karena usaha dakwah meliputi semua segi kehidupan manusia. Sehingga tidak bisa dilakukan oleh perorangan tetapi merupakan kerja kolektif. Dalam pengertian yang kedua ini, tabligh termasuk bagian dari aktivitas dakwah.

C.Dasar Hukum Dakwah
Dasar hukum dakwah terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ   
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar

[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.
[217] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Pengertian yang terkandung dalam ayat Al Qur'an diatas menunjukkan kepada ketegasan hukum wajib untuk melaksanakan suatu perintah Allah SWT, yakni menyuruh kepada kebajikan dan mencegah dari perbuatan mungkar. Adapun alasan yang dipegangi untuk menentukan hukum tersebut wajib, adalah terletak pada kata waltakun yaitu fi’il mudlari’ yang dimasuki laam ‘amr menurut kaidah bentuk tersebut menunjukkan perintah. Dasar hukum dakwah juga terdapat dalam ayat 110 surat ali Imron.
ööNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  

110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Selain dalam Al Qur'an terdapat pula hadits riwayat Muslim yang mengandung pengertian dasar hukum dakwah yaitu :Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu, maka dengan lisannya, apabila juga tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah (Masdar Helmy, 1973: 73).
Hadits tersebut juga menunjukkan hukum wajibnya melaksanakan suatu perintah Allah SWT. Adapun alasannya ialah terletak pada kata falyughayyirhu yaitu fi’il mudlari’ yang dimasuki lam ‘amr yang artinya mengubah.
Setelah diperoleh hukum tentang wajibnya berdakwah perlu diketahui pula tentang jenis dari kewajiban berdakwah itu, apakah wajib/fardlu ‘ain atau wajib/fardlu kifayah.
Ada dua pendapat berkaitan dengan soal tersebut :
a.       Fardlu kifayah: berdasarkan pada penasiran bahwa kata minkum pada surat Ali Imran ayat 104 itu berfungsi sebagai littab’id, oleh karena itu kata minkum diartikan “diantara kamu”.
b.      Fardlu ‘ain yang berpendapat bahwa kata minkum itu sebagai lilbayaan penegasan atau litaukiid yang berarti menguatkan terhadap kata wal takun sehingga ayat tersebut diartikan dengan hendaklah kamu menjadi suatu ummat (Ma’ruf, t.th.: 7)
Jadi menurut pendapat yang pertama kewajiban dakwah hanya dibebankan kepada sebagian orang saja yang mempunyai kemampuan dan cukup ilmu agamanya, hal mana bertentangan dengan hadits nabi yang mengatakan : Sampaikanlah dari ajaranku walaupun satu ayat” (Bahraisy, 1978: 316).
Hadits di atas menguatkan pendapat kedua yaitu bahwa kewajiban dakwah dibebankan kepada tiap muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing. Setiap muslim harus menyiarkan agamanya, baik pengetahuannya sedikit apalagi banyakkepada orang lain yang belum mengetahuinya. Hal ini disebabkan karena roh kebenaran yang terdapat dalam dada tiap muslim tidak akan diam, kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Dia tidak akan puas hingga ia menyampaikan kebenaran itu kepada tiap-tiap orang, sehingga apa yang ia percayai benar itu juga diterima sebagai kebenaran oleh setiap anggota masyarakat ummat manusia (Ali, 1971: 7). Dengan demikian maka seorang dokter dapat menjadi da’i terhadap pasiennya, seorang guru terhadap muridnya, seorang pengusaha terhadap buruhnya, pendek kata setiap orang dapat menjadi pelaku-pelaku dakwah dalam bidangnya masing-masing.

D.    Metode Dakwah
Suatu usaha agar supaya tujuannya tercapai memerlukan suatu pedoman atau cara, demikian juga dengan usaha dakwah. Dalam Al Qur'an telah ditetapkan mengenai pedoman pelaksana­an dakwah yaitu dalam surat An Nahl ayat 125:
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
[845] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan ada tiga macam metode dalam berdakwah yaitu :
a.       Metode bil Hikmah
Dalam bahasa Indonesia seringkali hikmah diterjemah­kan dengan kata bijaksana atau dengan kebijaksanaan yang mempunyai arti tindakan yang baik dan tepat. Menurut Dr. A.Mukti Ali (1971:14) arti dakwah dengan cara hikmah ialah kesanggupan para da’i untuk menyiarkan Islam dengan mengingat waktu dan tempat serta masyarakat yang dihadapi. Jadi dakwah dengan hikmah dapat diartikan dakwah dengan tindakan yang baik dan tepat, artinya dalam berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi obyek dakwah dan dengan menyesuaikan metodeserta materi dengan situasi dan kondisi obyek dakwah tersebut.
Dalam hubungan inilah kita dapati petugas dakwah pada periode pertama penyiaran Islam. Di Jawa mereka berusaha un­tuk mengertidan memahami bahasa, kesenian, kepercayaan,adat serta aspirasi cita masyarakat yang dihadapi, kemudian mere­ka mendakwahkan Islam dengan cara integrasi, bersatu dengan jalan-perkawinan, hubungan dagang, memasukkan ajaran Islam dalam adat kebiasaan masyarakat.
b.      Mauidhoh Hasanah
Mauidhoh hasanah berarti tutur kata yang baik yakni berupa nasehat-nasehat, anjuran ataupun didikan-didikan yang mudah dipahami, apabila dakwah dilaksanakan dengan tutur kata yang baik maka akan dapat mengundang simpati ob­yek dakwah dan dapat mengetuk hati mereka untuk mengikuti ajakan dakwah. Agar kata-katanya diikuti oleh obyek dakwah maka tindak laku seorang da'i atau muballigh harus merupa­kan contoh teladan yang baik bagi orang lain. Sering kali perbuatan yang baik itu lebih ampuh pengaruhnya daripada kata-kata yang baik (Ali, 1971, 12).
Untuk dapat menyajikan materi dakwah menjadi suatu hal yang mudah dipahami (berupa mauidhoh hasanah) bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang mudah, di sini diperlukan suatu kepandaian dan kebijaksanaan (hikmah), bagaimana membuat tutur kata yang baik dan kapan saat yang tepat untuk menyampaikannya.
c.       Berdebat dengan cara yang baik
Metode ini digunakan apabila ada pertanyaanatau bantahan dari obyek dakwah, maka jawablah dengan carayang baik, ajaklah berdebat dengan cara yang baik sehingga me­muaskan mereka.
Dalam menjawab pertanyaan obyek dakwah maupun dalam berdebat dengan mereka perlu pula diperhatikan tingkat ke­cerdasan mereka sebagaimana sabda Nabi yang menyuruh kita untuk berbicara kepada manusia menurut kecerdasan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits sebagai berikut yang artinya: Berbicaralah kepada manusia menurut kecerdasan mereka masing-masing (Darajat, 1979, 58).
Dalam diskusi yang harus kita jaga adalah perdebatan yang terjadi dengan cara yang baik, sabar, tidak sempit dada, sebab juru dakwah harus mengerti bahwa tujuannya bukan menang dalam perdebatan tetapi dapat memuaskan  lawan dan membawanya kepada kebenaran (Munsyi, 1981, 57).Dengan demikian dalam berdiskusipun diperlukan kebijaksana­an atau hikmah. Contoh dakwah dengan cara ini adalah dialog antara Islam dan Kristen yang bahkan sudah dibukukan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode dakwah merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan di dalam menghadapi berbagai macam obyek dakwah yang berada dalam berbagai situasi dan kondisi. Hikmah menunjuk pada cara atau taktik dakwah sedang mauidhoh hasanah lebih menunjukkan kepada bentuk dakwah. Dalam pengembangannya metode Al­qur'an tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan situasidan kondisi obyek dakwah, sebab heterogenitas obyek dakwah membutuhkan metode yang berbeda-beda untuk menghadapinya. Berdasarkan ayat tersebut di atas Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar juz III menyimpulkan bahwa :
a. Metode bil hikmah digunakan untuk menghadapi golongan cerdik pandai atau ilmuwan, di mana dalam dakwah kepada mereka disertai dengan alasan-alasan, dalih dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal me­reka.
b. Mauidhoh hasanah digunakan untuk menghadapi golongan awam yang belum dapat berfikir secara kritis. Dakwah dengan cara mauidhoh hasanah ini berupa anjuran, didikan dan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c. Mujadalah bil lati hiya ahsan digunakan untuk golongan di antara dua golongan di atas, yaitu berupa.diskusi, tukar fikiran secara baik, karena golongan mem¬punyai tingkat kecerdasan yang belum begitu tinggi sehingga tidak sesuai dilayani dengan hikmah maupun mauidhoh hasanah. ( Natsir, 1980, 159 ).

D. Bentuk Dakwah
1.  Dakwah bil lisan, yaitu dakwah  dengan mengunakan potensi lisan, diantaranya adalah ceramah, tabligh, diskusi, sarasehan pengajian dan sebagainya.
2.  Dakwah bil kitab, yaitu dakwah dengan mengunakan keterampilan tulis menulis berupa artikel atau naskah yang kemudian dimuat di dalam majalah atau suat kabar, brosur, buliten, buku, dan sebagainya. Dakwah seperti ini mempunyai kelebihan yaitu dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lebih lama serta lebih luas jangkauannya, disamping lebih dapat mempelajarinya secara mendalam dan berulang-ulang. Dakwah dalam bentuk ini juga disebut dengan dakwah bittadwim. Menyangkut dakwah bit-Tadwim ini Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada".
3.  Dakwah bil hal, yaitu dakwah yang dilakukan dengan berbagai kegiatan yang langsung menyentuh kepada masyarakat sebagai objek dakwah dengan karya subjek dakwah serta ekonomi sebagai materi dakwah. Ada pun yang termasuk ke dalamnya adalah seperti pemberian bantuan dana untuk usaha produktif, program pengembangan masyarakat, koperasi, program kesejahteraan ummat dan sebagainya.
Selain itu ada juga bentuk dakwah lain yaitu:
1.  Dakwah Fardiah yaitu dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman, teguran, anjuran, berdoa pada saat mengunjungi orang sakit, dan berwasiat taqwa serta kesabaran kepada orang lain.
2.  Dakwah Ammah. Dakwah Ammah merupakan jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato). Dakwah Ammah ini kalau ditinjau dari segi subyeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-soal dakwah.

Dimensi Dakwah
Dalam dakwah terdapat dua dimensi besar  yaitu:
1.      Dimensi Kerisalahan. Dimensi ini mengacu pada Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 67 sebagai berikut:
* $pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ  
67. Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Dakwah dalam dimensi kerisalahan artinya adalah dakwah sebagai tugas Rasulullah dan kaum muslimin untuk menyeru manusia agar lebih mengetahui, memahami, menghayati (mengimani) dan mengamalkan Islam sebagai pandangan hidupnya, sehingga terjadi proses internalisasi nilai islam sebagai nilai hidupnya. Dalam hal ini (1) islam merupakan sumber nilai, (2) dakwah sebagai proses alih nilai.
2.      Dimensi kerahmatan
Dimensi dakwah yang kedua adalah dakwah dimensi kerahmatan yang  mengacu pada firman Allah, QS Al-Anbiya: 107.
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
                  107. dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Dimensi dahwah kerahmatan adalah upaya untuk mengaktualkan (merealisasikan) Islam sebagai rahmat (jalan hidup yang mensejahterakan, membahagiakan dan sebagainya) bagi ummat manusia bahkan bagi seluruh alam semesta.
Dalam dakwah kerahmatan ini yang di tuntut dan di tuju ialah umat islam secara terus-menerus berproses untuk membuktikan validitas Islam yang telah di klaim sebagai rahmatan lil alamin.

E.     Materi Dakwah
Yang dimaksud dengan materi dakwah ialah bahan-bahan yang dipergunakan untuk berdakwah dalam rangka mencapai tujuan dakwah. Adapun sumber-sumber materi dakwah ialah :
a.       Al Qur'an dan Hadits
b.      Sejarah perjuangan Nabi
c.       Ilmu pengetahuan umum
Materi dakwah yang baik adalah materi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh obyek dakwah, dengan demikian merekamerasa mendapat manfaat dari materi yang disampaikan. Materi dakwah tidak hanya membahas masalah akherat saja, teapi juga masalah keduniaan yang dihadapi oleh obyek dakwah. Sebab Risalah dibawakan justru untuk memecahkan persoalan-persoalan hidup yang riil dalam berbagai aspeknya (Natsir, 1976: 89). Tegasnya materi dakwah disiapkan sesuai dengan masalah yang dihadapi obyek dakwah, yang sumber pokoknya dari wahyu ilahi dan hadits Rasulullah, sehingga materi yang disajikan atau diberikan selalu aktual dan mengena pada sasarannya dan mampu memberikan pemecahan terhadap  segala problem hidup dan kehidupan manusia (Helmy, 1973: 10-11), sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamain dapat dirasakan secara nyatadalam kehidupan masyarakat.
Permasalahan materi dakwah pada saat sekarang ini ialah kebanyakan materi dakwah yang disampaikan cenderung berkisar pada masalah fiqih ibadah saja, dan jarang sekali menyentuh fiqih muamalah dan akhlak, apalagi yang berhubungan dengan masalah sosial, ekonomi dan politik. Hal ini menimbulkan kesan Islam kurang lengkap dan kurang mempunyai relevansi dengan kontek permasalahan ummat. Materi dakwah tidak secara langsung mengenai kebutuhan masyarakat, masalah-masalah  kemasyarakatan kurang tersentuh oleh dakwah atau para da’i kurang perhatian terhadap masalah-masalah itu sehingga merasa tak berkewajiban menjawabnya.
a.      Obyek Dakwah
Yang dimaksud dengan obyek dakwah ialah manusia yang diajak ke jalan Tuhan atau yang menjadi sasaran dari pada suatu usaha dakwah.Obyek dakwah itu bermacam-macam bentuk dan keadaannya, ada yang sudah Islam ada yang belum, ada yang cerdas ada yang bodoh, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang tebal imannya ada yangmasih tipis imannya, yang cuma memperlihatkan keperluan beragama pada peristiwa-peristiwa penting saja dalam kehidupan mereka seperti pada waktu lahir, nikah dan meninggal dan sebagainya. Jadi masyarakat sasaran dakwah adalah beragam, beragam dalam budaya, tingkat keagamaannya, kondisi sosial ekonominya dan sebagainya.
Masyarakat yang menjadi sasaran dakwah itu dengan segala variannya perlu dipelajari dan diteliti. Bagaimana cara dakwah di kalangan anak-anak, remaja dan orang tua. Bagaimana cara melaksanakan dakwah di kalanganburuh, mahasiswa, petani, guru pedagang, pejabat pemerintah, tentara, wanita dan sebagainya (Ali, 1971: 26). Itu semua perlu dipelajari karena setiap obyek dakwah dengan karakteristiknya memerlukan pendekatan atau cara dakwah yang berbeda. Suatu metode dakwah yang cocok diterapkan pada suatu kelompok masyarakat belumtentu cocok diterapkan dalam kelompok masyarakat yang lain.
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa sasaran dakwah adalah masyarakat yang selalu berubah, berubah aspirasinya, berubah pandangan hidupnya, berubah cita rasanya, sehingga materi dakwah yang disampaikan pada waktu lalu mungkin tidak relevan lagi disampaikan pada saat sekarang. Karena itu sampaikanlah ajaran Islam dengan orientasi dan analisa yang lain dari pada yang dulu dan dengan cara serta gaya berbeda pula.

b.      Jalur Dakwah
Jalur dakwahyangpaling efektif pada masa sekarang adalah melalui kebutuhan dasar manusia yang meliputi: sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan dan lapangan kerja.
Dakwah lewat jalur kebutuhan dasar manusia ini bisa ditempuh misalnya dengan mendirikan koperasi untuk perta­nian atau koperasi nelayan, mendirikan sekolah atau rumah sakit yang terjangkau oleh rakyatkecil. Usaha ini dapat ditempuh dengan kerjasama dengan pemerintah setempat.
Disamping kerjasama dengan pemerintah dakwah melalui kebutuhan dasar manusia ini harus didukung oleh ada­nya organisasi dan dana yang memadai. Menghadapi permasalahan hidup masyarakat yang semakin komplek, maka sukses tidaknya usaha dakwah banyak bergantung pada baik tidaknya organisasi dakwah. Organisasi dakwah memegang perananyang sangat menentukan dalam pelaksanaan dakwah, sebab dengan pengorganisasian dakwah tersebut memudahkan pemilihan tenaga yang diperlukan, sekaligus sarana atau alat yang dibutuhkan.
Untuk efisiensi organisasi dakwah perlu menerapkan fungsi management, seperti perencanaan yang didasarkan pada permasalahan kebutuhan masyarakat sasaran dakwah, ada­nya perencanaan ini akan memudahkan pekerjaan dan pembagi­an tugas.
Fungsi management selanjutnyaadalah pengorganisasian (pembagian tugas dan tanggung jawab), pelaksanaan rencana dan pengawasan. Pengorganisasian dakwah yang me­ngandung koordinasi akan mendatangkan keuntungan berupa terpadunya berbagai kemampuan dan keahlian dari pelaksana dakwah yang semuanya tertuju pada tujuan yang telah ditentukan, rencana dakwah jadi lebih mudah pelaksanaannya ka­rena ada pembagian tugas.
Usaha dakwah dengan perencanaan dan persiapan ter­sebut akan bisa berjalan bila didukung oleh adanya dana atau pembiayaan yang memadai, karena itu diperlukan ada­nya badan atau lembaga yang khusus menangani dana dakwah. Mengenai sumber dana sesungguhnya dapat diambil dari kalangan kelas menengah ke atas, tinggal bagaimana cara peng­galian dana tersebut dan pengelolaannya.
c.       Subyek Dakwah
Seperti dikemukakan di muka bahwa akibat perkemba­ngan ilmu dan tehnologi yang membawa masyarakat berubah serta berkembang dan permasalahan yang dihadapi semakin komplek, maka dengan sendirinya dakwahpun harus berkem­bang dan berubah dalam cara pendekatan serta metode mau­pun tehnik penyampaiannya. Sebab kalau tidak demikian maka dakwah akan kehilangan relevansinya dan tidak mengena pada masyarakat sasaran dakwah.
Untuk dapat menemukan pendekatan dakwah yang tepat subyek dakwah baik berwujud perorangan maupun lembaga a­tau organisasi harus memenuhi dua syarat yaitu tafaqquh fid diin dan tafaqquh fin Naas(M. Natsir, 148 ).
a. Tafaqquh fid diin ialah faham akan risalah atau materi dakwah yang akan disampaikan, dan mampu menerapkan ajaran tersebut ke dalam realitas kemasyarakatan yang kongkrit dalam konteks budaya setempat. Contoh dalam hal ini adalah pendekatan budaya yang dilakukan oleh Wali songo, dimana dalam dakwahnya mempergunakan cara-cara yang luwes, menafsirkan secara baru cerita wayang yang telah dikenal rakyat ke dalam baju Islam sehingga Al-Qur'an dapat diterima secara enak oleh penguasa-pengua­sa di daerah pedalaman ( H. Rasihan Anwar, 1976: 9.).
b. Tafaqquh fin Naas ialah faham akan keadaan sosio kultural masyarakat sasaran dakwah serta permasalahan yang dihadapinya mampu untuk mengatasi masalah dan kebutuhan kongkrit masyarakat sasaran dakwah berdasar dan berpedoman kepada cara-cara ilmiah yang dibenarkan oleh wahyu Ilahi. Termasuk dalam pengertian tafaqquh fin Naas adalah menguasai ilmu jiwa, sosiologi, demografi, sosiografi dan ilmu kemasyarakatan lainnya.
Dari dua syarat tersebut akan dapat ditemukan pen­dekatan dakwah yang tepat, yang pada gilirannya masyarakat sebagai sasaran dakwah akan merasa perlu dan butuh terhadap dakwah serta mau menyambut seruan dakwah karena merasa kepentingannya diperhatikan.
Menurut Syeikh Muhammad Abduh kualifikasi seorang dai ada sebelas syarat :
Hendaklah seorang pemberi dakwah mempunyai pengetahuan yang sempurna  tentang al Quran, al Hadits, Sejarah Nabi, Sejarah para sahabat.
Berpengetahuan tentang keadaan ummat yang di dakwahi, sosial, ekonomi dan budaya.
Berpengetahuan tentang sejarah supaya dapat mengetahui dari mana sumber kerusakan ahlaq dan timbulnya adat istiadat yang mengganggu kecerdasan berfikir.
Berpengetahuan tentang ilmu bumi atau geografi, sehingga diketahui kondisi geografi suatu daerah yang menjadi medan dakwah.
Menguasai ilmu jiwa
Menguasai ilmu akhlaq dan mengamalkannya
Menguasai ilmu masyarakat (sosiologi)
Menguasai ilmu politik
Menguasai bahasa
Mengetahui kehidupan dan kesenian yang berlaku di kalangan ummat
Mengetahui pokok-pokok perbedaan agama-agama yang ada


Daftar Pustaka

Ali, Mukti A Dr., Faktor-Faktor Penyiaran Islam, Nida, Yogyakarta. 1971
-------------------, Dakwah Pembangunan: Dakwah dan Fenomena Psiko-Budaya Umat Islam dalam Nasruddin Harahap, Editor. Dakwah Pembangunan Golkar Propinsi DIY. 1992.
Ahmad, Amrulloh, ed., Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, PLP2M, Yogyakarta. 1985.
Agama, Departemen RI., Al Qur’andan terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an,. DEPAG RI, Jakarta. 1978.
Anwar, Rosihan H., Demi Dakwah, Al Ma’arif, Bandung, 1976
Bahreisy, Salim, Terjemah Riadhus Sholihin. Al Ma'arif. Bandung. 1978
Darojat, Zakiah, Dr. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang, Jakarta. 1979
Helmy, Masdar, Drs. H. Dakwah Dalam Alam Pembangunan, Toha Putra, Semarang, 1973
Ma'ruf, Farid, Dinamika Ahlak., Bina Ilmu, Surabaya. t.th   .
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Tafsir Al Qur’an, Jakarta, 1973.
Natsir. M., Fiqhud Dakwah, Ramadhani, Semarang. 1981
Munsyi, Abdul Kadir, DIP.AD.ED.Drs., Metode Diskusi dalam Dakwah, Al Ikhlas, Su¬rabaya, 1981.
Oemar, Toha Yahya Prof,  Ilmu Dakwah, cet. II, Wijaya, Jakarta.
Sanusi Salahuddin, Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam, Ramadhani, Semarang, 1964.
Zarkasi, Effendi, Drs. Unsur Islam Dalam Pewayangan, Toha Putra, Semarang, 1977.

Tidak ada komentar: