BAHAN KULIAH
ILMU DAKWAH
TINJAUAN TENTANG
DAKWAH
A. Pendahuluan
Islam adalah
agama dakwah, karena memang Islam mengandung kebenaran yang mendorong
pemeluknya untuk menyebarkannya. Dalam perkembangannya sejak dari Mekkah sampai
keseluruh dunia, Islam selalu diwarnai dengan usaha-usaha dakwah yang dimulai
dari Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah dandilanjutkan oleh para
sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in sampai kepada para da’i ke seluruh penjuru
dunia, sehingga Islam sampai di Indonesia.
Apabila kita
menyimak kegiatan dakwah pada masa kini akan terlihat bahwa dakwah Islam
mengalami hambatan yang cukup mendasar. Sebab masyarakat sebagai sasaran dakwah
dari waktu ke waktu terus berkembang, tidak statis sebagaiakibat dari pengaruh
perkembangan Ilmu dan teknologi, sehingga masyarakat sebagai sasaran dakwah
semakin komplek. Sedang dakwah masih menggunakan cara-cara konvensional, tema dakwah
yang lama mulai kehilangan relevansinya
dan model dakwah yang ada tidak lagi dapat melihat dan memecahkan masalah ummat
yang semakin rumit (Ahmad, ed., 1985: 3). Dakwah Islam pada masa sekarang
kebanyakan masih bersifat verbal dan parsial dan tidak mengena pada konteks
permasalahatan ummat, sehingga dakwah Islam terlihat ketinggalan (dibanding
misi lain) seperti ditunjukkan oleh penurunan relatif dari pemeluknya, hal mana
antaralain disebabkan oleh kurangnya pengkajian dan penerapan metode yang
memadai (Ahmad, 1985: 47).
Salah satu penyebab dari problem dakwah tersebut adalah
sebagai akibat dari pola pengertian dakwah yang selama ini hidup dalam
pemikiran dakwah. Pertama dakwah diberi pengertian tabligh/penyiaran/penerangan
agama, kedua dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisir ajaran Islam
dalam semua segi kehidupan manusia (Amrullah Achmad, ed., 1985: 6)
Kelemahan
pada pengertian dakwah yang pertama adalah terlalu sempit sehingga tidak mampu
menghubungkan antara simbol dengan realitas, aktivitas dakwah menjadi sempit, hanya
dari mimbar ke mimbar dan tidak bisa menjawab permsalahan ummat secara
kongkrit. Untuk menjawab permasalahan ummat atau masyarakat sebagai sasaran
dakwah sebagai misal tentang kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan dengan
tabligh dari mimbar ke mimbar, tetapi perlu ada usaha atau tindakan untuk
mengangkat mereka dari kemiskinan. Usaha itu bisa berupa bantuan sosial,
pendidikan ketrampilan dan sebagainya. Yang mana hal tersebut telah dilakukan
oleh agama lain yang dalam cara berdakwah lebih persuasif dan mendekati
kebutuhan nyata dari masyarakat dalam arti sosial psikologis atau pun sosial
ekonomi bagi mereka yang miskin.
Apabila
pengertian yang salah (sempit) tentang dakwah tersebut tetap dipertahankan,
maka nasib agama Islam di Indonesia akan mundur (Effendy Zarkasi, 1977: 14).
Sedang dakwah
dalam pengertian yang kedua menghendaki adanya lembaga sebagai penopangnya
karena usaha dakwah meliputi semua segi kehidupan manusia. Sehinga tidak bisa
dilakukan oleh perorangan tetapi merupakan kerja kolektif. Dalam pengertian
yang kedua ini, tabligh termasuk bagian dari aktivitas dakwah.
Sejalan
dengan itu Mukti Ali (1971; 5-6) memberikan kritiknya yang tertuang
dalam bukunya Faktor-Faktor Penyiaran Islam. Beliau mengatakan dalam berdakwah orang seringkali
bertolak dari dalil-dalil Al Qur'an dan Hadist juga dari pendapat para ulama
dan pemimpin-pemimpin terkemuka. Dari dalil-dalil itu lalu orang menguraikan
tentang bagaimana seharusnya dakwah itu dilakukan. Cara pendekatan yang seperti
itu dinamakan cara deduktif. Cara yang sedemikian itu memang baik kedengarannya,
karena yang diuraikan adalah yang baik-baik saja, karena ajaran Islam dengan
segala seluk-beluknya adalah baik. Dakwah dengan segala seluk-beluknyadiberi
bentuk yang idealistik.
Pendekatan seperti tersebut diatas itu mungkin
didasarkan kepada pengertian bahwa masalah dakwah adalah masalah agama melulu
dengan arti yang sempit.
Pendekatan yang sedemikian itu adalah baik sekalidari
segi teori, tetapi belum tentu teori yang baik itu dapat diterapkan di masyarakat.
Teori dakwah yang baik diterapkan disesuatu kelompok masyarakat belum tentu
baik diterapkan dalam kelompok masyarakat yang lain. Keadaan obyektif dari
sesuatu masyarakat tidak bisa dipaksakan untuk disesuaikan dengan sesuatu teori
yang kita anggap baik.
Selanjutnya A. Mukti Ali (1971) mengatakan pendekatan
yang sedemikian itu adalah kurang tepat. Hal ini disebabkan karena soaldakwahadalah
bukan soal agama saja, tetapi juga soal masyarakat. Soal masyarakat inilah
yang seringkali dilupakan orang untuk dibahas, ditinjau dan dianalisa. Oleh
karena itu barangkali saja cara pendekatan yang baik tentang masalah dakwah
adalah dengan jalan mempelajari masyarakat secara obyektif, lalu kita melihat
kekurangan-kekurangan yang selama ini kita lakukan dalam melaksanakan dakwah.
Keadaan obyektif dari masyarakat kita pelajari lalu kita pulangkan pada dalil-dalil
Al Qur'an atau Hadist, juga pendapat para ulama dan orang terkemuka. Cara ini
adalah pendekatan secara induktif.Seringkali uraian dengan cara yang belakanganinikurangpopuler,
karena seringkali juga menunjukkan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan
yang selama ini dilakukan oleh para muballigh dan para da’i. Menurut A Mukti
Ali (1971) menunjukkan kesalahan dan kekurangan para muballigh dan para da’i
itu adalah merupakan suatu keharusan. Sebab bagaimana orang bisa dengan tepat
menunjukkan cara yang baik yang harus dilakukan, kalau kesalahan-kesalahan dan
kekurangan-kekurangannya tidak terlebih dahulu diuraikan.
B.Pengertian Dakwah
1. Menurut Bahasa
Dakwah
berasal dari bahasa arab yaitu : da’aa, yad’uu, dakwatan, yang artinya
mengajak, memanggil, menyeru (Mahmud Yunus, 1970: 127). Di dalam Al-Qur’an kata
dakwah itu dipergunakan untuk menyeru
kepada yang baik maupun yang buruk, yaitu dalam surat Al-Mu’min ayat 41 :
*
ÏQöqs)»tur
$tB
þÍ<
öNà2qãã÷r&
n<Î)
Ío4qyf¨Z9$#
û_Í_tRqããôs?ur
n<Î)
Í$¨Z9$#
ÇÍÊÈ
41. Hai
kaumku, Bagaimanakah kamu, aku menyeru kamu kepada keselamatan, tetapi kamu
menyeru aku ke neraka?
Dari
pengertian di atas, secara umum kata dakwah dapat diartikan sebagai ajakan atau panggilan kepada orang agar
mengikuti atau menganut suatu pendapat atau ajaran tertentu.
2. Menurut Istilah
Terdapat
banyak pendapat mengenai arti istilah dakwah. Ada yang mengartikan dan
menyamakan dakwah dengan pidato atau tabligh dan pendapat ini umum berlaku di
kalangan para juru dakwah.
Menurut Prof.
Thaha Yahya Umar (1967: 1), bahwa yang dimaksud dengan dakwah ialah :Mengajak
manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang sesuai dengan perintah Tuhan,
untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akherat.
Sedangkan
menurut HSM. Nasaruddin Latif, bahwa dakwah adalah setiap usaha atau aktifitas
dengan lisan, tulisan atau lukisan dan lainnya, yang bersifat menyeru,
mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai
dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak Islamiyah.(t.th. : 10).
Sedangkan
menurut H. Soedirman (1972: 47) yang dimaksud dengan dakwah ialah semua
usaha mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan.
Al-Ustadz
Bahiyul Khuly (dalam Salahuddin Sanusi, 1964: 9-10), mendefinisikan dakwah
yaitu :Memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain atau dari
situasi kekufuran ke situasi keamanan dari situasi terjajah ke situasi
kemerdekaan, dari situasi kemelaratan ke situasi kemakmuran, dari situasi
mundur ke kemajuan dari pecah belah ke persatuan..., merubah seseorang yang
jahat menjadi saleh, yang maksiat menjadi taat, yang bodoh menjadi
berpengetahuan dan yang miskin menjadi berkecukupan.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas, maka secara garis besar ada dua pola pengertian yang
selama ini hidup dalam pemikiran dakwah.
1) Dakwah diberi pengertian
tabligh/penyiaran/penerangan agama.
2) Bahwa dakwah diberi pengertian semua usaha
untuk merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia. (Amrullah
Achmad, ed., 1985: 6).
Kelemahan
pada pengertian dakwah yang pertama adalah terlalu sempit sehingga tidak mampu
menghubungkan antara simbol dengan realitas, aktivitas dakwah menjadi sempit,
hanya dari mimbar ke mimbar dan tidak bisa menjawab permasalahan ummat secara
kongkrit. Untuk menjawab permasalahan ummat atau masyarakat sebagai sasaran
dakwah sebagai misal tentang kemiskinan tidak bisa hanya dilakukan dengan
tabligh dari mimbar ke mimbar, tetapi perlu ada usaha atau tindakan untuk
mengangkat mereka dari kemiskinan. Usaha itu bisa berupa bantuan sosial,
pendidikan keterampilan dan sebagainya. Yang mana hal tersebut telah dilakukan
oleh agama lain yang dalam cara berdakwah lebih persuasif dan mendekati
kebutuhan nyata dari masyarakat dalam arti sosial psikologis ataupun sosial
ekonomi bagi mereka yang miskin.
Apabila
pengertian yang salah (sempit) tentang dakwah tersebut tetap dipertahankan,
maka nasib agama Islam di Indonesia akan mundur (Effendy Zarkasi, 1977: 14).
Sedang dakwah
dalam pengertian yang kedua menghendaki adanya lembaga sebagai penopangnya
karena usaha dakwah meliputi semua segi kehidupan manusia. Sehingga tidak bisa
dilakukan oleh perorangan tetapi merupakan kerja kolektif. Dalam pengertian
yang kedua ini, tabligh termasuk bagian dari aktivitas dakwah.
C.Dasar Hukum Dakwah
Dasar hukum dakwah
terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104:
`ä3tFø9ur
öNä3YÏiB
×p¨Bé&
tbqããôt
n<Î)
Îösø:$#
tbrããBù'tur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
tböqyg÷Ztur
Ç`tã
Ìs3YßJø9$#
4
y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
cqßsÎ=øÿßJø9$#
ÇÊÉÍÈ
104. dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar
[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.
[217]
Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar
ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
Pengertian yang
terkandung dalam ayat Al Qur'an diatas menunjukkan kepada ketegasan hukum wajib
untuk melaksanakan suatu perintah Allah SWT, yakni menyuruh kepada kebajikan
dan mencegah dari perbuatan mungkar. Adapun alasan yang dipegangi untuk
menentukan hukum tersebut wajib, adalah terletak pada kata waltakun yaitu
fi’il mudlari’ yang dimasuki laam ‘amr menurut kaidah bentuk
tersebut menunjukkan perintah. Dasar hukum dakwah juga terdapat dalam
ayat 110 surat ali Imron.
ööNçGZä.
uöyz
>p¨Bé&
ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã
Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/
3
öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4
ãNßg÷ZÏiB
cqãYÏB÷sßJø9$#
ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÊÊÉÈ
110. kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.
Selain dalam Al
Qur'an terdapat pula hadits riwayat Muslim yang mengandung pengertian dasar
hukum dakwah yaitu :Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka
hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu, maka dengan
lisannya, apabila juga tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah iman yang
paling lemah (Masdar Helmy, 1973: 73).
Hadits tersebut
juga menunjukkan hukum wajibnya melaksanakan suatu perintah Allah SWT. Adapun
alasannya ialah terletak pada kata falyughayyirhu yaitu fi’il mudlari’
yang dimasuki lam ‘amr yang artinya mengubah.
Setelah diperoleh
hukum tentang wajibnya berdakwah perlu diketahui pula tentang jenis dari kewajiban
berdakwah itu, apakah wajib/fardlu ‘ain atau wajib/fardlu kifayah.
Ada dua pendapat
berkaitan dengan soal tersebut :
a. Fardlu kifayah: berdasarkan pada penasiran
bahwa kata minkum pada surat Ali Imran ayat 104 itu berfungsi sebagai littab’id,
oleh karena itu kata minkum diartikan “diantara kamu”.
b. Fardlu ‘ain yang berpendapat bahwa kata minkum
itu sebagai lilbayaan penegasan atau litaukiid yang berarti
menguatkan terhadap kata wal takun sehingga ayat tersebut diartikan
dengan hendaklah kamu menjadi suatu ummat (Ma’ruf, t.th.: 7)
Jadi menurut
pendapat yang pertama kewajiban dakwah hanya dibebankan kepada sebagian orang
saja yang mempunyai kemampuan dan cukup ilmu agamanya, hal mana bertentangan
dengan hadits nabi yang mengatakan : Sampaikanlah dari ajaranku walaupun
satu ayat” (Bahraisy, 1978: 316).
Hadits di atas
menguatkan pendapat kedua yaitu bahwa kewajiban dakwah dibebankan kepada tiap
muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing. Setiap muslim harus menyiarkan
agamanya, baik pengetahuannya
sedikit apalagi banyakkepada orang lain yang belum mengetahuinya. Hal ini
disebabkan karena roh kebenaran yang terdapat dalam dada tiap muslim tidak akan
diam, kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan, dan
perbuatannya. Dia tidak akan puas hingga ia menyampaikan kebenaran itu kepada
tiap-tiap orang, sehingga apa yang ia percayai benar itu juga diterima sebagai
kebenaran oleh setiap anggota masyarakat ummat manusia (Ali, 1971: 7). Dengan
demikian maka seorang dokter dapat menjadi da’i terhadap pasiennya, seorang
guru terhadap muridnya, seorang pengusaha terhadap buruhnya, pendek kata setiap
orang dapat menjadi pelaku-pelaku dakwah dalam bidangnya masing-masing.
D. Metode Dakwah
Suatu usaha agar supaya tujuannya tercapai memerlukan suatu
pedoman atau cara, demikian juga dengan usaha dakwah. Dalam Al Qur'an telah
ditetapkan mengenai pedoman pelaksanaan dakwah yaitu dalam surat An Nahl ayat
125:
äí÷$#
4n<Î)
È@Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
(
Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4
¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#Î6y
(
uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïÏtGôgßJø9$$Î/
ÇÊËÎÈ
125. serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
[845]
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang
hak dengan yang bathil.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan ada tiga macam metode
dalam berdakwah yaitu :
a.
Metode bil
Hikmah
Dalam bahasa
Indonesia seringkali hikmah diterjemahkan dengan kata bijaksana atau dengan
kebijaksanaan yang mempunyai arti tindakan yang baik dan tepat. Menurut Dr.
A.Mukti Ali (1971:14) arti dakwah dengan cara hikmah ialah kesanggupan para da’i
untuk menyiarkan Islam dengan mengingat waktu dan tempat serta masyarakat yang
dihadapi. Jadi dakwah dengan hikmah dapat diartikan dakwah dengan tindakan yang
baik dan tepat, artinya dalam berdakwah dengan memperhatikan situasi dan
kondisi obyek dakwah dan dengan menyesuaikan metodeserta materi dengan situasi dan
kondisi obyek dakwah tersebut.
Dalam
hubungan inilah kita dapati petugas dakwah pada periode pertama penyiaran Islam.
Di Jawa mereka berusaha untuk mengertidan memahami bahasa, kesenian,
kepercayaan,adat serta aspirasi cita masyarakat yang dihadapi, kemudian mereka
mendakwahkan Islam dengan cara integrasi, bersatu dengan jalan-perkawinan, hubungan
dagang, memasukkan ajaran Islam dalam adat kebiasaan masyarakat.
b.
Mauidhoh Hasanah
Mauidhoh
hasanah berarti tutur kata yang baik yakni berupa nasehat-nasehat, anjuran
ataupun didikan-didikan yang mudah dipahami, apabila dakwah dilaksanakan dengan
tutur kata yang baik maka akan dapat mengundang simpati obyek dakwah dan dapat
mengetuk hati mereka untuk mengikuti ajakan dakwah. Agar kata-katanya diikuti
oleh obyek dakwah maka tindak laku seorang da'i atau muballigh harus merupakan
contoh teladan yang baik bagi orang lain. Sering kali perbuatan yang baik itu
lebih ampuh pengaruhnya daripada kata-kata yang baik (Ali, 1971, 12).
Untuk dapat
menyajikan materi dakwah menjadi suatu hal yang mudah dipahami (berupa mauidhoh
hasanah) bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang mudah, di sini diperlukan
suatu kepandaian dan kebijaksanaan (hikmah), bagaimana membuat tutur kata yang
baik dan kapan saat yang tepat untuk menyampaikannya.
c.
Berdebat dengan cara yang baik
Metode ini
digunakan apabila ada pertanyaanatau bantahan dari obyek dakwah, maka jawablah
dengan carayang baik, ajaklah berdebat dengan cara yang baik sehingga memuaskan
mereka.
Dalam
menjawab pertanyaan obyek dakwah maupun dalam berdebat dengan mereka perlu pula
diperhatikan tingkat kecerdasan mereka sebagaimana sabda Nabi yang menyuruh
kita untuk berbicara kepada manusia menurut kecerdasan mereka. Sebagaimana
tersebut dalam hadits sebagai berikut yang artinya: Berbicaralah kepada
manusia menurut kecerdasan mereka masing-masing (Darajat, 1979, 58).
Dalam diskusi
yang harus kita jaga adalah perdebatan yang terjadi dengan cara yang baik,
sabar, tidak sempit dada, sebab juru dakwah harus mengerti bahwa tujuannya bukan
menang dalam perdebatan tetapi dapat memuaskan lawan dan membawanya kepada kebenaran (Munsyi,
1981, 57).Dengan demikian dalam berdiskusipun diperlukan kebijaksanaan atau
hikmah. Contoh dakwah dengan cara ini adalah dialog antara Islam dan Kristen
yang bahkan sudah dibukukan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode dakwah merupakan
suatu kesatuan yang tidak terpisahkan di dalam menghadapi berbagai macam obyek
dakwah yang berada dalam berbagai situasi dan kondisi. Hikmah menunjuk pada
cara atau taktik dakwah sedang mauidhoh hasanah lebih menunjukkan kepada bentuk
dakwah. Dalam pengembangannya metode Alqur'an tersebut dapat dikembangkan
sesuai dengan situasidan kondisi obyek dakwah, sebab heterogenitas obyek dakwah
membutuhkan metode yang berbeda-beda untuk menghadapinya. Berdasarkan ayat
tersebut di atas Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar juz III
menyimpulkan bahwa :
a. Metode bil hikmah digunakan untuk menghadapi golongan
cerdik pandai atau ilmuwan, di mana dalam dakwah kepada mereka disertai dengan
alasan-alasan, dalih dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka.
b. Mauidhoh hasanah digunakan untuk menghadapi golongan awam
yang belum dapat berfikir secara kritis. Dakwah dengan cara mauidhoh hasanah
ini berupa anjuran, didikan dan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.
c.
Mujadalah bil lati hiya ahsan digunakan untuk golongan di antara dua golongan
di atas, yaitu berupa.diskusi, tukar fikiran secara baik, karena golongan
mem¬punyai tingkat kecerdasan yang belum begitu tinggi sehingga tidak sesuai
dilayani dengan hikmah maupun mauidhoh hasanah. ( Natsir, 1980, 159 ).
D. Bentuk
Dakwah
1. Dakwah bil lisan,
yaitu dakwah dengan mengunakan potensi lisan,
diantaranya adalah ceramah, tabligh, diskusi, sarasehan pengajian dan
sebagainya.
2. Dakwah bil kitab,
yaitu dakwah dengan mengunakan keterampilan tulis menulis berupa artikel atau
naskah yang kemudian dimuat di dalam majalah atau suat kabar, brosur, buliten,
buku, dan sebagainya. Dakwah seperti ini mempunyai kelebihan yaitu dapat
dimanfaatkan dalam waktu yang lebih lama serta lebih luas jangkauannya,
disamping lebih dapat mempelajarinya secara mendalam dan berulang-ulang. Dakwah
dalam bentuk ini juga disebut dengan dakwah bittadwim. Menyangkut dakwah
bit-Tadwim ini Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya tinta para ulama
adalah lebih baik dari darahnya para syuhada".
3. Dakwah bil hal,
yaitu dakwah yang dilakukan dengan berbagai kegiatan yang langsung menyentuh
kepada masyarakat sebagai objek dakwah dengan karya subjek dakwah serta ekonomi
sebagai materi dakwah. Ada pun yang termasuk ke dalamnya adalah seperti pemberian
bantuan dana untuk usaha produktif, program pengembangan masyarakat, koperasi,
program kesejahteraan ummat dan sebagainya.
Selain itu ada juga bentuk dakwah lain yaitu:
1. Dakwah Fardiah yaitu
dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada
beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah
terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk
kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman, teguran, anjuran, berdoa
pada saat mengunjungi orang sakit, dan berwasiat taqwa serta kesabaran kepada
orang lain.
2. Dakwah Ammah.
Dakwah Ammah merupakan jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media
lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh
kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato). Dakwah
Ammah ini kalau ditinjau dari segi subyeknya, ada yang dilakukan oleh
perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung
dalam soal-soal dakwah.
Dimensi Dakwah
Dalam dakwah terdapat dua dimensi besar yaitu:
1.
Dimensi Kerisalahan. Dimensi ini mengacu pada Al-Qur’an
Surat Al-Maidah ayat 67 sebagai berikut:
*
$pkr'¯»t
ãAqߧ9$#
õ÷Ïk=t/
!$tB
tAÌRé&
øs9Î)
`ÏB
y7Îi/¢
(
bÎ)ur
óO©9
ö@yèøÿs?
$yJsù
|Møó¯=t/
¼çmtGs9$yÍ
4
ª!$#ur
ßJÅÁ÷èt
z`ÏB
Ĩ$¨Z9$#
3
¨bÎ)
©!$#
w
Ïöku
tPöqs)ø9$#
tûïÍÏÿ»s3ø9$#
ÇÏÐÈ
67.
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Dakwah
dalam dimensi kerisalahan artinya adalah dakwah sebagai tugas Rasulullah dan
kaum muslimin untuk menyeru manusia agar lebih mengetahui, memahami, menghayati
(mengimani) dan mengamalkan Islam sebagai pandangan hidupnya, sehingga terjadi
proses internalisasi nilai islam sebagai nilai hidupnya. Dalam hal ini (1)
islam merupakan sumber nilai, (2) dakwah sebagai proses alih nilai.
2.
Dimensi kerahmatan
Dimensi
dakwah yang kedua adalah dakwah dimensi kerahmatan yang mengacu pada firman Allah, QS Al-Anbiya: 107.
!$tBur
»oYù=yör&
wÎ)
ZptHôqy
úüÏJn=»yèù=Ïj9
ÇÊÉÐÈ
107.
dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.
Dimensi
dahwah kerahmatan adalah upaya untuk mengaktualkan (merealisasikan) Islam
sebagai rahmat (jalan hidup yang mensejahterakan, membahagiakan dan sebagainya)
bagi ummat manusia bahkan bagi seluruh alam semesta.
Dalam
dakwah kerahmatan ini yang di tuntut dan di tuju ialah umat islam secara
terus-menerus berproses untuk membuktikan validitas Islam yang telah di klaim
sebagai rahmatan lil alamin.
E. Materi Dakwah
Yang dimaksud
dengan materi dakwah ialah bahan-bahan yang dipergunakan untuk berdakwah dalam
rangka mencapai tujuan dakwah. Adapun sumber-sumber materi dakwah ialah :
a. Al Qur'an dan Hadits
b. Sejarah perjuangan Nabi
c. Ilmu pengetahuan umum
Materi dakwah
yang baik adalah materi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh obyek
dakwah, dengan demikian merekamerasa mendapat manfaat dari materi yang
disampaikan. Materi dakwah tidak hanya membahas masalah akherat saja, teapi
juga masalah keduniaan yang dihadapi oleh obyek dakwah. Sebab Risalah dibawakan
justru untuk memecahkan persoalan-persoalan hidup yang riil dalam berbagai
aspeknya (Natsir, 1976: 89).
Tegasnya materi dakwah disiapkan sesuai dengan masalah yang dihadapi obyek
dakwah, yang sumber pokoknya dari wahyu ilahi dan hadits Rasulullah, sehingga
materi yang disajikan atau diberikan selalu aktual dan mengena pada sasarannya
dan mampu memberikan pemecahan terhadap
segala problem hidup dan kehidupan manusia (Helmy, 1973: 10-11),
sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamain dapat dirasakan secara nyatadalam
kehidupan masyarakat.
Permasalahan
materi dakwah pada saat sekarang ini ialah kebanyakan materi dakwah yang
disampaikan cenderung berkisar pada masalah fiqih ibadah saja, dan jarang
sekali menyentuh fiqih muamalah dan akhlak, apalagi yang berhubungan dengan
masalah sosial, ekonomi dan politik. Hal ini menimbulkan kesan Islam kurang
lengkap dan kurang mempunyai relevansi dengan kontek permasalahan ummat. Materi
dakwah tidak secara langsung mengenai kebutuhan masyarakat,
masalah-masalah kemasyarakatan kurang
tersentuh oleh dakwah atau para da’i kurang perhatian terhadap masalah-masalah
itu sehingga merasa tak berkewajiban menjawabnya.
a. Obyek Dakwah
Yang dimaksud
dengan obyek dakwah ialah manusia yang diajak ke jalan Tuhan atau yang menjadi
sasaran dari pada suatu usaha dakwah.Obyek dakwah itu bermacam-macam bentuk dan
keadaannya, ada yang sudah Islam ada yang belum, ada yang cerdas ada yang
bodoh, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang tebal imannya ada yangmasih
tipis imannya, yang cuma memperlihatkan keperluan beragama pada
peristiwa-peristiwa penting saja dalam kehidupan mereka seperti pada waktu
lahir, nikah dan meninggal dan sebagainya. Jadi masyarakat sasaran dakwah
adalah beragam, beragam dalam budaya, tingkat keagamaannya, kondisi sosial
ekonominya dan sebagainya.
Masyarakat yang
menjadi sasaran dakwah itu dengan segala variannya perlu dipelajari dan diteliti. Bagaimana cara dakwah di kalangan
anak-anak, remaja dan orang tua. Bagaimana cara melaksanakan dakwah di
kalanganburuh, mahasiswa, petani,
guru pedagang, pejabat pemerintah, tentara, wanita dan sebagainya (Ali, 1971:
26). Itu semua perlu dipelajari karena setiap obyek dakwah dengan
karakteristiknya memerlukan pendekatan atau cara dakwah yang berbeda. Suatu
metode dakwah yang cocok diterapkan pada suatu kelompok masyarakat belumtentu
cocok diterapkan dalam kelompok masyarakat yang lain.
Yang juga perlu
mendapat perhatian adalah bahwa sasaran dakwah adalah masyarakat yang selalu
berubah, berubah aspirasinya, berubah pandangan hidupnya, berubah cita rasanya,
sehingga materi dakwah yang disampaikan pada waktu lalu mungkin tidak relevan
lagi disampaikan pada saat sekarang. Karena itu sampaikanlah ajaran Islam
dengan orientasi dan analisa yang lain dari pada yang dulu dan dengan cara
serta gaya berbeda pula.
b.
Jalur Dakwah
Jalur dakwahyangpaling
efektif pada masa sekarang adalah melalui kebutuhan dasar manusia yang meliputi: sandang, pangan,
kesehatan, pendidikan, perumahan dan lapangan kerja.
Dakwah lewat jalur kebutuhan dasar manusia ini bisa ditempuh
misalnya dengan mendirikan koperasi untuk pertanian atau koperasi nelayan,
mendirikan sekolah atau rumah sakit yang terjangkau oleh rakyatkecil. Usaha ini
dapat ditempuh dengan kerjasama dengan pemerintah setempat.
Disamping kerjasama dengan pemerintah dakwah melalui
kebutuhan dasar manusia ini harus didukung oleh adanya organisasi dan dana
yang memadai. Menghadapi permasalahan hidup masyarakat yang semakin komplek,
maka sukses tidaknya usaha dakwah banyak bergantung pada baik tidaknya
organisasi dakwah. Organisasi dakwah memegang perananyang sangat menentukan
dalam pelaksanaan dakwah, sebab dengan pengorganisasian dakwah tersebut
memudahkan pemilihan tenaga yang diperlukan, sekaligus sarana atau alat yang
dibutuhkan.
Untuk efisiensi organisasi dakwah perlu menerapkan fungsi
management, seperti perencanaan yang didasarkan pada permasalahan kebutuhan
masyarakat sasaran dakwah, adanya perencanaan ini akan memudahkan pekerjaan
dan pembagian tugas.
Fungsi management selanjutnyaadalah pengorganisasian
(pembagian tugas dan tanggung jawab), pelaksanaan rencana dan pengawasan.
Pengorganisasian dakwah yang mengandung koordinasi akan mendatangkan
keuntungan berupa terpadunya berbagai kemampuan dan keahlian dari pelaksana
dakwah yang semuanya tertuju pada tujuan yang telah ditentukan, rencana dakwah
jadi lebih mudah pelaksanaannya karena ada pembagian tugas.
Usaha dakwah dengan perencanaan dan persiapan tersebut akan
bisa berjalan bila didukung oleh adanya dana atau pembiayaan yang memadai,
karena itu diperlukan adanya badan atau lembaga yang khusus menangani dana
dakwah. Mengenai sumber dana sesungguhnya dapat diambil dari kalangan kelas
menengah ke atas, tinggal bagaimana cara penggalian dana tersebut dan
pengelolaannya.
c.
Subyek Dakwah
Seperti dikemukakan di muka bahwa akibat perkembangan ilmu
dan tehnologi yang membawa masyarakat berubah serta berkembang dan permasalahan
yang dihadapi semakin komplek, maka dengan sendirinya dakwahpun harus berkembang
dan berubah dalam cara pendekatan serta metode maupun tehnik penyampaiannya.
Sebab kalau tidak demikian maka dakwah akan kehilangan relevansinya dan tidak mengena
pada masyarakat sasaran dakwah.
Untuk dapat menemukan pendekatan dakwah yang tepat subyek
dakwah baik berwujud perorangan maupun lembaga atau organisasi harus memenuhi
dua syarat yaitu tafaqquh fid diin dan tafaqquh fin Naas(M.
Natsir, 148 ).
a. Tafaqquh
fid diin ialah faham akan risalah atau materi dakwah yang akan disampaikan, dan
mampu menerapkan ajaran tersebut ke dalam realitas kemasyarakatan yang kongkrit
dalam konteks budaya setempat. Contoh dalam hal ini adalah pendekatan budaya
yang dilakukan oleh Wali songo, dimana dalam dakwahnya mempergunakan cara-cara
yang luwes, menafsirkan secara baru cerita wayang yang telah dikenal rakyat ke
dalam baju Islam sehingga Al-Qur'an dapat diterima secara enak oleh
penguasa-penguasa di daerah pedalaman ( H. Rasihan Anwar, 1976: 9.).
b. Tafaqquh
fin Naas ialah faham akan keadaan sosio kultural masyarakat sasaran dakwah
serta permasalahan yang dihadapinya mampu untuk mengatasi masalah dan kebutuhan
kongkrit masyarakat sasaran dakwah berdasar dan berpedoman kepada cara-cara
ilmiah yang dibenarkan oleh wahyu Ilahi. Termasuk dalam pengertian tafaqquh fin
Naas adalah menguasai ilmu jiwa, sosiologi, demografi, sosiografi dan ilmu
kemasyarakatan lainnya.
Dari
dua syarat tersebut akan dapat ditemukan pendekatan dakwah yang tepat, yang
pada gilirannya masyarakat sebagai sasaran dakwah akan merasa perlu dan butuh
terhadap dakwah serta mau menyambut seruan dakwah karena merasa kepentingannya
diperhatikan.
Menurut
Syeikh Muhammad Abduh kualifikasi seorang dai ada sebelas syarat :
Hendaklah
seorang pemberi dakwah mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang al Quran, al Hadits, Sejarah Nabi,
Sejarah para sahabat.
Berpengetahuan
tentang keadaan ummat yang di dakwahi, sosial, ekonomi dan budaya.
Berpengetahuan
tentang sejarah supaya dapat mengetahui dari mana sumber kerusakan ahlaq dan
timbulnya adat istiadat yang mengganggu kecerdasan berfikir.
Berpengetahuan
tentang ilmu bumi atau geografi, sehingga diketahui kondisi geografi suatu
daerah yang menjadi medan dakwah.
Menguasai
ilmu jiwa
Menguasai
ilmu akhlaq dan mengamalkannya
Menguasai
ilmu masyarakat (sosiologi)
Menguasai
ilmu politik
Menguasai
bahasa
Mengetahui
kehidupan dan kesenian yang berlaku di kalangan ummat
Mengetahui pokok-pokok perbedaan agama-agama yang ada
Daftar Pustaka
Ali, Mukti A Dr., Faktor-Faktor Penyiaran
Islam, Nida, Yogyakarta. 1971
-------------------, Dakwah Pembangunan:
Dakwah dan Fenomena Psiko-Budaya Umat Islam dalam Nasruddin Harahap, Editor.
Dakwah Pembangunan Golkar Propinsi DIY. 1992.
Ahmad, Amrulloh, ed., Dakwah Islam dan
Perubahan Sosial, PLP2M, Yogyakarta. 1985.
Agama, Departemen RI., Al Qur’andan
terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an,. DEPAG RI, Jakarta. 1978.
Anwar, Rosihan H., Demi Dakwah, Al
Ma’arif, Bandung, 1976
Bahreisy, Salim, Terjemah Riadhus
Sholihin. Al Ma'arif. Bandung. 1978
Darojat, Zakiah, Dr. Pendidikan Agama
dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang, Jakarta. 1979
Helmy, Masdar, Drs. H. Dakwah Dalam Alam
Pembangunan, Toha Putra, Semarang, 1973
Ma'ruf, Farid, Dinamika Ahlak., Bina Ilmu,
Surabaya. t.th .
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Tafsir Al Qur’an, Jakarta, 1973.
Natsir. M., Fiqhud Dakwah, Ramadhani,
Semarang. 1981
Munsyi, Abdul Kadir, DIP.AD.ED.Drs.,
Metode Diskusi dalam Dakwah, Al Ikhlas, Su¬rabaya, 1981.
Oemar, Toha Yahya Prof, Ilmu Dakwah, cet. II, Wijaya, Jakarta.
Sanusi Salahuddin, Pembahasan Sekitar
Prinsip-Prinsip Dakwah Islam, Ramadhani, Semarang, 1964.
Zarkasi, Effendi, Drs. Unsur Islam Dalam
Pewayangan, Toha Putra, Semarang, 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar