Mengapa Doa-Doaku Tidak Terkabulkan?
Doa peneduh jiwa yang sedang
terbalut oleh kalut, sedih dan gundah. Ia memberi ruang tersendiri bagi mereka
yang ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, kadang kita
mengira sesuatu yang dipanjatkan itu belum juga terpenuhi, sehingga dengan
sendirinya hati pun bertanya-tanya dan berkata:
“Kenapa yah, doa-doaku tidak terkabulkan? Apa yang salah
dalam diri ini? Bukankah aku telah menunjukkan kehambaanku kepada-Nya dengan
doa-doa itu?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah dijawab dengan jelas
kedua ayat berikut ini:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara
yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf [7]: 55-56)
Hemat penulis, doa yang terkabulkan adalah doa yang mematuhi
adab doa yang dijelaskan ayat di atas. Adab-adab tersebut dapat diuraikan
sebagaimana berikut:
Adab pertama: Berdoa dengan penuh rendah diri dan suara
lemah lembut
Para pakar tafsir berbeda dalam memaknai kata (التَّضّرُّعُ). Imam Ibn Jarir at-Thabari
cenderung menafsirkannya dengan makna rendah diri, merasa hina, dan berupaya
menghadirkan kedamaian hati di setiap doa.[[1]]
Penalaran ini disepakati kebanyakan penafsir yang datang
setelahnya, seperti: al-Allâma Abu Hayyân, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr.[[2]]
Di lain pihak, al-Qâdhi Ibn Atiyyah menafsirkannya dengan
doa yang terdengar jelas. Beliau berkata:
“Kata at-Tadarru’ (التَّضّرُّعُ)
menghendaki kejelasan suara, karena kata itu sendiri tidak dipergunakan kecuali
pada permintaan yang disertai dengan pelbagai isyarat dan gerakan tubuh.” [[3]]
Pemaknaan ini dilegitimasi al-Allâma Muhammad Thâhir bin
Asyûr dalam pernyataannya berikut ini:
“(التَّضَرُّعُ)
artinya: menunjukkan kerendahan diri dengan perihal tertentu. Olehnya itu (التَّضَرُّعُ) adalah doa yang disertai
dengan suara yang jelas. Inilah penafsiran yang kami pilih karena menunjukkan
keserasian makna (antonim) antara kata tersebut dengan kata (الحَفِيَّة), yang artinya: berdoa
dengan suara yang lemah lembut. Olehnya itu, kata penghubung (الواو) huruf (Waw) yang sering kali
diartikan dengan makna (dan), di sini ia berfungsi seperti (أَوْ) huruf (Aw), yang berarti atau.
Artinya: Anda boleh memanjatkan doa dengan suara yang terdengar jelas atau
dengan suara yang lemah lembut (tidak ada yang mendengarkannya kecuali Anda
sendiri).”[[4]]
Hemat penulis, kata (التَّضَرُّعُ)
meliputi kedua pemaknaan itu. Al-Qur’an sengaja menempatkan kata tersebut untuk
menyuguhkan makna ini:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Berdoalah dengan penuh
kerendahan diri dan kekhusyukan, baik di waktu berdoa dengan suara yang jelas,
atau dengan suara yang lemah lembut.”
Hal ini dipertegas oleh kesimpulan Ustadz Muhammad Râsyîd
Ridhâ di bawah ini:
“Kedua bentuk doa itu punya waktu tersendiri. At-Tadarru’
dengan suara yang jelas bagus dan tepat di waktu menyendiri, aman dari
penglihatan orang lain, sehingga mereka tidak merasa terusik dengan suara itu,
dan perhatian orang yang berdoa tidak disibukkan dengan mereka dari konsentrasi
membujur kepada Allah SWT, serta doanya tidak rusak dengan ria dan ujub.
Sementara itu, At-Tadarru’ dengan lemah lembut (yang hanya
didengar olehnya sendiri) baik dan tepat di tempat terbuka, atau saat berada di
khalayak ramai, seperti: Masjid dan di tempat yang menghidupkan syiar-syiar
agama, kecuali pada waktu yang dibolehkan mengangkat suara, seperti: talbiyah
di haji, takbir di kedua shalat Id. Itu boleh karena pelaksanaan ibadah-ibadah
seperti ini dikerjakan secara saksama dan jauh dari puji diri.” [[5]]
Olehnya itu, ayat ini ditutup dengan firman-Nya:
Maksudnya, dalam kondisi bagaimanapun, Anda tidak dibolehkan
melampaui batas yang wajar dalam berdoa. Di antara hal yang tidak diperbolehkan
dalam berdoa telah dicontohkan alQâdhi Ibn Atiyyah berikut ini:
“Kalimat tersebut meskipun maknanya umum, tetapi karena ia
dalam konteks doa, maka ia mengisyaratkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan
dalam berdoa. Di antara hal tersebut, seperti: berteriak-teriak meminta. Ini
telah diperingatkan Rasul Saw kepada kaum yang terlalu membesarkan suara pada
saat takbir, beliau bersabda: (Wahai manusia, rendahkanlah suaramu,
sesungguhnya engkau tidak berdoa kepada yang tuli, atau kepada yang gaib).[[6]]Dan
yang lainnya lagi, seperti: meminta kedudukan yang sederajat dengan nabi, atau
meminta sesuatu yang mustahil terjadi, serta berdoa melakukan kemaksiatan.”[[7]]
Kata (المُعْتَديْن)
yang melampaui batas dapat juga menjadi teguran terhadap mereka yang memahami
bahwa doa itu tidak lain kecuali sarana memenuhi segala keinginan. Telaah
mendalam seperti ini telah diperlihatkan Syekh Mutawalli as-Sya’râwî berikut
ini:
“Hindarkan diri Anda untuk tidak berdoa kecuali ingin
memenuhi hajat semata!
Yang wajib Anda lakukan berdoa dengan memperlihatkan kepada-Nya kerendahan diri, kehinaan dan kekhusyukan, karena seandainya saja Anda tidak berdoa, maka segala urusan Anda terjadi sesuai dengan garis ketentuan ilahi. Jangan pernah mengira bahwa Anda berdoa supaya terwujud harapan-harapan Anda, karena Allah SWT Maha Suci untuk Anda jadikan sebagai pegawai Anda. Inilah aturan baku yang Allah tetapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Anda sekalian.”[[8]]
Yang wajib Anda lakukan berdoa dengan memperlihatkan kepada-Nya kerendahan diri, kehinaan dan kekhusyukan, karena seandainya saja Anda tidak berdoa, maka segala urusan Anda terjadi sesuai dengan garis ketentuan ilahi. Jangan pernah mengira bahwa Anda berdoa supaya terwujud harapan-harapan Anda, karena Allah SWT Maha Suci untuk Anda jadikan sebagai pegawai Anda. Inilah aturan baku yang Allah tetapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Anda sekalian.”[[8]]
Hematnya, tujuan doa memperlihatkan kehambaan kita kepada
Allah SWT, diterima atau tidaknya doa tersebut itu permasalahan kedua. Karena
jika ia terkabulkan, maka itu adalah karunia-Nya, dan jika tidak terkabulkan
itu pun karunia-Nya. Di sana ada kemaslahatan di balik penerimaan, penolakan,
dan penundaan dari terkabulkannya doa yang jauh dari pengetahuan manusia
sendiri.
Adab kedua: Jangan melakukan kerusakan di bumi!
Al-Qâdhi Ibn Atiyyah berkata:
“Firman-Nya:’cakupannya sangat umum, meliputi segala bentuk
kerusakan, baik yang besar atau kecil, setelah adanya perbaikan. Olehnya itu,
tujuan pelarangan tersebut bersifat umum, dan tidak boleh dijustifikasi buta
terhadap satu jenis kerusakan, karena hukum seperti ini menyalahi seruan
tersebut.”[[9]]
Di antara bentuk kerusakan yang sering dipaparkan Al-Qur’an
dalam konteks doa, perilaku sebagian kelompok yang kembali kepada kesesatan
setelah doanya terkabulkan dari sebuah bencana dan kesulitan. Ini tercatat
dengan begitu apik di ayat-ayat berikut ini:
Ayat pertama: “Dan ketika mereka ditimpa azab mereka pun
berkata: (Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan kenabian yang
diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat mengangkat azab
itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani
Israil pergi bersamamu). Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka
hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka
mengingkarinya.” (QS. Al-A’raf [7]: 134-135]
Di ayat lain firman-Nya: “Dan apabila manusia ditimpa
bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri,
tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui
(jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang
melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS.
Yunus [10]: 12)
Hemat penulis, telah jelas bahwa faedah doa bukan hanya
terbatas dari hajat yang terpenuhi seketika itu, tetapi bagaimana menjaga
kemurahan dan karunia Allah tersebut supaya tidak pergi dengan sendirinya.
Tentunya, tidak ada cara lain untuk menjaganya kecuali tetap berada di jalan
Allah. Apalah artinya doa yang terkabulkan pada suatu waktu, tetapi di
waktu-waktu lain kita kembali terjerumus dalam kemungkaran dan kemaksiatan.
Faedah doa bukan hanya ingin dilihat hari ini dan esok, tetapi faedahnya ingin
dipetik di akhirat. Doa yang berkah doa yang senantiasa mengatakan seperti ini:
“Wahai diriku yang terkabulkan doanya! Aku sebenarnya enggan
menyuguhkan kenikmatan ini jika di lain hari engkau kembali mengingkari
Tuhanmu. Jagalah nikmat ini dengan tidak kembali menengok dunia hitam, apalagi
jatuh di lembah kemaksiatan! Aku ingin senantiasa dipetik hari ini, esok dan di
akhirat, bukan hanya sehari, kemudian melupakan Sang Maha Pemberi yang telah
menjadikan aku fasilitas gratis guna mendekatkan dirimu kepada-Nya.”
Adab ketiga dan keempat: takut doa tidak diterima dan
berharap penuh dikabulkan
Makna ini dijustifikasi Syekh al-Alûsî sebagai makna yang
banyak dipilih oleh pakar tafsir. Beliau berkata:
“Firman-Nya: artinya:
berdoalah dengan penuh rasa takut dari doa yang tidak mustajab karena
ketidaklayakan Anda untuk menjadi orang-orang yang doanya mustajab, dan jangan
pernah putus asa untuk senantiasa berharap penuh terhadap jawaban-Nya sebagai
karunia untukmu dari-Nya. Inilah pilihan kebanyakan mufassir.”[[10]]
Di lain sisi, Syekh Mutawalli as-Sya’rawî memaparkan makna
yang cukup luas, beliau berkata:
“Di sini Al-Qur’an menjelaskan adab lain berdoa, yaitu;
artinya: takutlah dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (القَهَّارُ) yang Maha
Menaklukkan, dan berharaplah dengan segenap harapan dari segala bentuk
manifestasi nama-Nya (الغَفَّارُ)
yang Maha Pengampun, dan (الرَّحِيْمُ)
yang Maha Pengasih. Berdoalah dengan penuh rasa takut dari segala bentuk
ketergantungan sifat keperkasaan-Nya, dan berharaplah mendapatkan karunia dari
segala bentuk ketergantungan sifat keindahan dan kemurahan-Nya.” [[11]]
Hemat penulis, kedua teks tersebut saling melengkapi dalam
memberikan sebuah pemaknaan. Karena jika doa terkabulkan, maka segala aneka
karunia dan kenikmatan yang ada di khazanah sifat-sifat keindahan dan
kemurahan-Nya tercurahkan dengan sendirinya melebihi volume curah hujan. Akan
tetapi, jika doa tidak terkabulkan, maka dengan sendirinya pula turun azab yang
datang dari keperkasaan dan keagungan-Nya.
Olehnya itu, kedua kelompok kata yang ada pada ayat itu
mustahil dipisahkan, demi terciptanya pemaknaan yang apik dan sempurna. Maha
Suci Allah yang telah memilih kosa kata Al-Qur’an dan menempatkannya di tempat
yang layak untuknya, pemilihan dan penempatan yang jauh dari kesanggupan para
ahli bahasa.
Di penghujung tulisan singkat ini, saya yakin pemerhati
tema-tema keislaman dengan mudah menyimpulkan apa yang ada di atas dan berkata:
“Doa adalah otak ibadah, tetapi tidak semua doa punya
ketinggian derajat seperti itu. Doa yang sampai ke derajat itu adalah doa yang
mustajab. Doa mustajab doa yang dipanjatkan dengan penuh rendah diri dan
khusyuk, takut tidak diterima serta berharap penuh dikabulkan. Doa mustajab itu
bukan hanya hasilnya dipetik hari ini. Akan tetapi ia senantiasa dipetik hari ini,
esok dan di akhirat. Carilah dengan doa karunia dan kenikmatan-Nya yang ada
pada khazanah sifat keindahan dan kemurahan-Nya, dan hindari dengan doa pula
azab-Nya yang ada pada sifat keperkasaan-Nya!”
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Imam Ibn Jarir at-Thabari, Tafsir
at-Thabari, vol. 12, hlm. 485
[2] Lihat: al-Allâma Abu Hayyân, al-Bahru
al-Muhîth, vol. 4, hlm. 312, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr, Tafsir Ibn
Katsîr, vol. 6, hlm. 321
[3] Lihat: al-Qâdhi Ibn Atiyyah, al-Muharrâr
al-Wajîz, vol. 2, hlm. 410
[4] Lihat: al-Allâma Muhammad Thâhir bin
Asyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 8, hlm. 172
[5] Ustad Muhammad Râsyîd Ridhâ, Tafsir
al-Manâr, vol. 8, hlm. 457
[6] Hadit ini dikeluarkan Imam
al-Bukhârî di Shahîhnya dari Abi Musa al-Asyarî r.a, kitab as-Siyar wa
al-Jihad, bab Mâ Yukrah min Raf’i as-Shawt fi at-Takbîr, hadits, no. 2992, hlm.
824
[7] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit,
vol. 2, hlm. 410
[8] Syekh Mutawalli as-Sya’râwî, Tafsir
as-Sya’râwî, vol. 7, hlm. 4174
[9] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit,
vol. 2, hlm. 410
[10] Lihat: Syekh al-Alûsî, Ruhul
Maânî, vol. 8, hlm. 140
[11] Lihat: Syekh Mutawalli as-Sya’rawî, Op.Cit,
vol. 7, hlm. 4180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar